Memetik Hikmah dari Sebungkus Nasi

image

“Sebungkus nasi tidak dapat mengubah kehidupan mereka, tapi dari sebungkus nasi kita diajarkan cara bersyukur dan lebih peka terhadap sesama” Berbagi Nasi Makassar

Di sebuah ruang tempat saya biasa meneguk secangkir kopi, menatap dinding kaca yang transparan. Terlihat seseorang berjalan seperti biasa, dengan karung lusuh di pundaknya. Matahari memancarkan sinar yang tak begitu menyengat kulit. Pagi ini, tiba-tiba saja terlintas ingatan tentang kegiatan ‘berbagi kanre pagi’.

Berbagi kanre pagi adalah salah satu kegiatan yang dilakukan setiap awal bulan oleh Berbagi Nasi Makassar, yang biasa disebut Pejuang Nasi. Kanre pagi adalah gabungan dua bahasa, kanre dalam bahasa Makassar berarti makan dan pagi dalam bahasa Indonesia yang kita sudah pahami bersama. Kanre pagi berarti makan pagi, memang kegiatan ini adalah membagikan makanan di pagi hari kepada target berbagi nasi.

Sudah dua minggu saya tidak ikut berbagi bersama yang lain, akhir-akhir ini saya agak susah membagi waktu antara pekerjaan dan kegiatan yang lain, hingga untuk ikut berbagi nasi pun sudah tak sempat. Jujur saja, ada rindu yang mengendap di hati.

Saya rindu aroma nasi bungkus yang masih mengepulkan hawa panas. Saya rindu saat-saat berbagi dengan sebungkus nasi. Saya rindu saat orang-orang mengucap “Alhamdulillah” hanya dengan sebungkus nasi.

Iya, hanya dengan sebungkus nasi dan lauk yang sederhana, sebungkus nasi yang mereka syukuri kemudian dilahap dengan hikmat. Bukankah itu cara membahagiakan diri dengan sederhana? Seperti kalimat dari salah satu pejuang nasi yang biasa dipanggil Ombal “Tak mengenal waktu, ruang dan derajat. Semuanya jatuh sepeti cahaya yang seketika membuat orang tersenyum. Tentang berbagi dengan sesama.”

Dengan sebungkus nasi saya jadi paham akan satu hal, bahwa bahagia itu tidak selamanya berkarib dengan meranggasnya nasib.

Jika seseorang dengan keterbatasan materi saja bisa bersyukur, lalu apa yang harus dikeluhkan dalam hidup? Dengan segala kecukupan materi yang dimiliki.

Di Berbagi Nasi saya bisa belajar satu hal, bahwa tidak perlu menunggu mampu untuk bisa berbagi. Di gerakan ini pula saya belajar bersyukur, bahwa rezeki tidak hanya sebatas materi. Bisa saja berupa kesehatan untuk tetap bisa berbagi.

Lalu, apa yang harus dikeluhkan dalam hidup ?

Padahal, jika kita mau sedikit saja membuka telinga dan perasaan, semua hal yang kita lalui, kita alami dan kita jalani adalah pemberian atas apa yang menjadi harapan kita.

Ya.. semuanya adalah pemberian dari apa yang kita minta, setiap detik, setiap saat, setiap tarikan nafas. Terik mentari, dinginnya malam, derasnya hujan, riuh keramaian, tawa canda, tangis duka, derita dan lara, semua adalah pemberian atas apa yang kita minta.

Lalu, apa yang harus dikeluhkan dalam hidup ?

Bukankah kita selalu punya harapan? Harapan yang baru setiap harinya. Atau, justru kita yang terlalu cepat lupa atas harapan yang telah lalu? Atau mungkin kita yang terlalu memandang nikmat kehidupan orang lain? “Saya mau ini, saya mau itu, kenapa saya seperti ini sementara dia seperti itu.”

Jadilah kita sekadar penghias mimpi-mimpi orang lain, atau kita cuma debu-debu peradaban yang terlupakan.

Padahal, kita bahkan mereka punya kuasa yang sama untuk bahagia. Semua adalah pemberian dan berkah yang membahagiakan, ketika kita mau sedikit saja membuka mata, telinga dan hati untuk mengutuhkan jiwa yang sebenarnya.

Coba lihat tawa anak kecil yang bermandikan hujan dan menari di atas comberan di pinggir jalan, lepas tanpa mengkhawatirkan demam dan masuk angin.

Atau lihatlah bagaimana seorang ayah yang menyuapi tiga anak dan satu istrinya sebungkus nasi di atas gerobak barang bekasnya berselimutkan malam.

Hidup terlalu kejam untuk sebagian orang, sementara kita menggantungkan penilaian diri atas kehidupan dari anggapan-anggapan. Hidup pun begitu indah untuk sebagian orang dan kita masih saja mengantungkan penilaian diri atas kehidupan dari anggapan-anggapan.

Lalu, apa itu bahagia ?

Cuma dibutuhkan sedikit syukur dan sabar agar mudah menemukan kebahagiaan. Kita saja yang mungkin terlalu mensyaratkan banyak hal untuk satu kata sederhana ‘Bahagia’. Atau kita yang selama ini lupa berkenalan dan mengakrabi bahagia itu.

Jika kau temukan kebahagiaanmu, lalu apa lagi yang harus dikeluhkan dalam hidup? Tuhan mu begitu dekat, bahkan lebih dekat dari nadi yang ada di lehermu.

Ikuti Percakapan

1 Komentar

Tinggalkan komentar